Kendala dan Ilustrasi Pembiayaan Bagi Hasil Bank Syariah di Indonesia


Bank syariah melakukan penyaluran dana ke masyarakat melalui 2 jenis pembiayaan yaitu kerja sama dan jual beli. Kerja sama ini terdiri dari dua akad, yaitu Mudharabah dan Musyarakah. Menurut PAPSI 2013 Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana. Menurut PAPSI 2013 Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana berupa kas maupun aset non-kas yang diperkenankan oleh Syariah. Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita lihat bahwa dua akad kerja sama ini menggunakan prinsip bagi hasil untuk membagi keuntungannya berdasarkan kesepakatan antara bank dan pengelola usaha tersebut.

Pada nyatanya terdapat kendala-kendala ketika menerapkan prinsip bagi hasil dalam pembiayaan bank syariah. Menurut Aswadi Lubis pada jurnalnya yang berjudul Agency Problem dalam Penerapan Pembiayaan  Akad Mudharabah Pada Perbankan Syariah, terdapat risiko pembiayaan bagi hasil, yaitu :

1.      Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak

2.      Lalai dan kesalahan yang disengaja

3.      Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur

4.      Risiko terdapat Asymetri Informasi, yaitu kondisi dimana sebagian investor tidak memiliki informasi, sedangkan sebagiannya lagi memiliki informasi.

Pada pembiyaan bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil, selain terdapat risiko, ada juga permasalahan. Menurut khalil, terdapat tiga masalah utama dalam keagenan yang terkait dengan pembiayaan bagi hasil, yaitu :

1.         Besarnya ketidakpastian, ketidakpastian disini adalah pendapatan atau keuntungan pengelola usaha. Sehingga pendapatan bank syariah pun juga tidak pasti. Selain itu, perusahaan atau pengelola juga dapat berpeluang untuk menimbulkan masalah, contohnya tidak transparan dalam menyampaikan laporan keuangan.

2.         Linieritas yang ekstrim (extreme linearity) maksudnya adalah linier sharing antara hasil dengan kinerja dari proyek yang dihasilkan, hasil akhir yang diharapkan tergantung sepenuhnya pada kemampuan/keterampilan pengusaha (agent) dan tingkat usaha yang dihasilkan. (Lubis, 2016)

3.      Terkait dengan kekuatan untuk menentukan pilihan/kebijakan (discretionary power). Kontrak mudharabah juga merepresentasikan suatu kekuatan kebijakan semenjak agen memulai menangani proyek dan mempunyai hak untuk membuat keputusan terkait dengan investasi dan distribusi aliran kas berikutnya. Hal ini menimbulkan discretion yang penuh atas aset pengusaha, sama seperti yang dimiliki manajer pada proyek sendiri tanpa menghadapi resiko kerugian secara keuangan (Lubis, 2016).

Terkait dengan permasalahan diatas, bank syariah sebagai penyalur pembiayaan menurut Jensen dan Mackling, cara untuk mengatasi pernasalahan tersebut dengan cara pemilik modal melakukan pengawasan (monitoring) dan melakukan pembatasan atas tindakan-tindakannya (bonding), sehingga dapat mengurangi kesempatan penyimpangan yang dilakukan oleh pemilik modal.

 Berikut merupakan contoh kasus menurut buku “Akuntansi Perbankan Syariah” terkait dengan pembiayaan yang menggunakan prinsip bagi hasil :

Bab 8, Kasus 1.

Pada  tanggal 12 Januari 20XA, BPRS Bangun Marwah Warga (BMW) dan Bapak Hendra menandatangani akad musyarakah permanen untuk pembiayaan usaha fotokopi senilai Rp40.000.000, yang terdiri dari Rp30.000.000 kontribusi BPRS dan Rp10.000.000 kontribusi Bapak Hendra. Bagi hasil didasarkan pada laba bruto ( penjualan dikurangi biaya kertas ) dengan nisbah bagi hasil 20% untuk BPRS dan 80% Bapak Hendra. Bagi hasil disepakati untuk dibayar dan dilaporkan setiap tanggal 20 mulai bulan Februari. Pembiayaan Musyarakah disepakati jatuh tempo pada tanggal 20 April 20XA. (Yaya, Martawireja, & Abdurrahim, Akuntansi Perbankan Syariah, 2017)

Transaksi nya sebagai berikut:

1.      Tanggal 12 Januari BPRS (saat akad) membuka cadangan pembiayaan musyarakah untuk Bapak Hendra.

2.      Tanggal 12 Januari (saat akad) BPRS membebankan biaya administrasi sebesar 0,2% dari nilai pembiayaan dan langsung diambil dari rekening Bapak Hendra.



Debit  : Pos lawan komitmen administrative pembiayaan    Rp80.000

Kredit : Kewajiban komitmen administrative pembiayaan                             Rp80.000

Debit  : Rekening nasabah – Bapak Hendra               Rp80.000

Kredit : Pendapatan Administrasi                                                      Rp80.000

Perhitungannya : Rp40.000.000 x 0.2% = Rp80.000



3.      Tanggal 20 Januari  BPRS mentransfer sebesar Rp30.000.000 ke rekening Bapak Hendra sebagai pembayaran porsi investasi BPRS.



Debit  : Pembiayaan Musyarakah                               Rp30.000.000

Kredit : Rekening nasabah – Bapak Hendrawan                                Rp30.000.000

Debit  : Kewajiban komitmen administrative pembiayaan Rp30.000.0000

Kredit : Pos lawan komitmen administrative pembiayaan                  Rp30.000.000



4.      Tanggal 20 Februari 20XA Bapak Hendra melaporkan laba bruto usahanya sebesar Rp5.000.000 dan pada tanggal yang sama membayarkan secara tunai porsi investasi BPRS.



Debit  : Kas                                                                 Rp1.000.000

Kredit : Pendapatan bagi hasil musyarakah                                        Rp1.000.000

Perhitungan : Rp5.000.000 x 20% = Rp1.000.000



5.      Tanggal 20 Maret 20XA Bapak Hendra melaporkan laba bruto usahanya sebesar Rp4.000.000 dan membayarkan secara tunai porsi bank sebesar 20% dari laba bruto pada tanggal 25 Maret 20XA.


       a.       Jurnal pada tanggal 20 Maret 20XA

Debit  : Piutang pendapatan bagi hasil musyarakah    Rp800.000

Kredit : Pendapatan bagi hasil                                                            Rp800.000

Perhitungan : Rp4.000.000 x 20% = Rp800.000



b.    Jurnal pada tanggal 25 Maret 20XA

Debit : Kas                                                                  Rp800.000

Kredit :Piutang pendapatan bagi hasil musyarakah                            Rp800.000

Debit : Pendapatan bagi hasil masyarakah – akrual    Rp800.000

Kredit : pendapatan bagi hasil musyarakah                                        Rp800.000



6.      Tanggal 20 April 20XA Bapak Hendra melaporkan laba bruto usahanya sebesar Ro6.000.000 dan pada tanggal yang sama membayarkan secara tunai porsi bank sebesar 20% dari laba bruto.



Debit : Kas                                          Rp120.000

Kredit : Pendapatan bagi hasil                                    Rp120.000

perhitungan : Rp6.000.000 x 20% = Rp120.000



7.      Tanggal 20 April 20XA, saat jatuh tempo, Bapak Hendra melunasi pembiayaan masyarakat sebesar Rp30.000.000 via debit rekening.



Debit : Kas/ Rekening nasabah           Rp30.000.000

Kredit : Pembiayaan Musyarakah                                           Rp30.000.000



DAFTAR PUSTAKA

PAPSI 2013

(Yaya, Martawireja, & Abdurahim, Kasus 8.1. Transaksi Pembiayaan Musyarakah, 2014)

(Lubis A. , 2017) yang jurnalnya berjudul AGENCY PROBLEM DALAM PENERAPAN PEMBIAYAAN  AKAD MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH.


Komentar